Header Ads

test

Para Pembunuh Ratapan: Kidung-Kidung Anak Papua, Dambaan Kebebasan Dari Duka Nestapa

Ratapan kamu itu apa? Selama puluhan tahun kami mencari jawaban atas pertanyaan itu. Kamu selalu ada dan hadir di mata. Ada di sisi saat manusia mencucurkan air mata kebahagiaan. Ada pula saat manusia sedang mencucurkan air mata kehancuran. Kengerian dan kebencian terus terjadi. Stigmatisasi negatif, teror, penindasan, pengintimidasian, penjajahan, operasi militer, pembunuhan, pembantaian, bahkan genosida adalah penyebabnya.Semakin menuntut korban, tanpa peduli. Air mata pun kering, tubuh hancur, berderai darah. Ah… mungkin memang lebih baik RATAPAN, kamu mati saja biar aku bebas dari itu.



Kutipan di atas merupakan sebuah tulisan yang termuat pada cover belakang sebuah buku puisi karya Pastor Honaratus Pigai berjudul ‘Para Pembunuh Ratapan‘.

Buku setebal 197 halaman itu terdiri dari 4 bagian. Bagian pertama berisi syair tentang Kidung-Kidung Ratapan Anak Papua. Bagian kedua berisi syair tentang Kehancuran dan Dehumanisme Anak Papua. Bagian ketiga berisi syair tentang Doa dan Refleksi Anak Papua. Dan bagian keempat atau bagian terakhir berisi syair tentang Para Pembunuh Membunuh Ratapan.

Dalam buku yang berisi 137 puisi ini, Penyair Muda Papua, yang juga adalah Pelayan Umat Allah ini berupaya mengangkat Kondisi Nyata yang terjadi (yang dirasakan, dipikirkan dan dialami rakyat Papua) di Tanah Papua sebagai bagian dari tugas Penggembalaan yang diembannya. Kondisi nyata itu, baik dari bidang kemanusian atau HAM, lingkungan, sosial, budaya maupun politik diterjemahkannya kedalam potongan-potongan syair indah yang amat menggugah hati.

Misalnya, dalam puisinya yang berjudul ‘Ratapan Anak Hilang’ penyair yang biasa disapa Pastor Honny menyairkan tindakan ketidakmanusiawian manusia atas kehilangan nyawa sanak-saudara yang hanya meninggalkan duka mendalam.

Ia juga, lewat puisinya berjudul ‘Gunung Itu Hilang’ mengkritisi pembangunan maupun kehadiran perusahaan-perusahaan yang biasanya tidak ramah dengan lingkungan hidup.

Ketidakadilan dan ketidakbenaran yang terjadi di Tanah Papua juga menjadi keprihatinannya melalui puisinya yang berjudul ‘Nilai Mati, Negara Berkabung’ dan begitu banyak persoalan lain yang diungkapkannya dalam karyanya yang diklaimnya sebagai ide dan tulisan dari rakyat Papua melalui kutipannya: “…Saya hanya menggenggam pena rakyat Papua dan meletakannya diatas kertas putih. Yang punya ide dan menulisnya adalah rakyat Papua sendiri…

Berikut ini merupakan cuplikan Pengantar Penyair (Se-‘tawa dagi‘ Penyair – begitulah istilah dari penyair buku ini):

Karya puisi ini saya beri judul: “PARA PEMBUNUH RATAPAN: kidung-Kidung Anak Papua, Dambaan Kebebasan Dari Duka Nestapa’ merupakan syair-syair yang mengalir otomatis dari hati sang anak manusia Papua yang dirasakan, dipikirkan dan dialaminya sendiri. Kita dapat melihat kenyataan yang terjadi bahwa, gelombang kekerasan amat sangat memukul mundur damai dan kebebasan. Damai yang diharapkan agar kekerasan tidak menjadi penguasa tak kunjung datang. Setiap waktu, kekerasan dan konflik terjadi tanpa ada ujung pamgkalnya. Manusia yang harus mendapatkan penghormatan terhadap martabatnya, malah mendapatkan titel ‘binatang’. Akibat titel kebinatangan, mengajak para pemberi titel dengan mudah memburu dan membunuh. Humanis terkikis dengan sikap arogan dan pelanggaran hak asasi manusia. Kebebasan dari kekerasan yang berkepanjangan di Papua pun tak ada solusi tepat. Sepertinya sudah mengakar.

Manusia sudah tidak lagi menghargai sesamanya sebagai manusia. Manusia dianggap bukan lagi sebagai manusia. Manusia dianggap binatang. Anggapan melulu negatif thinking ini sangat tidak lagi menghargai kodrat manusia, melainkan mendekati penghinaan dan pengorbanan terhadap kodrat asali manusia. Yang aneh, penghinaan ini sedang berjalan terus di era modern dengan mendasarkan sikap egoisme fundamental. Karena keangkuhan materialisme, mengkibatkan mata nurani menjadi buta aksara melihat nilai kemanusiaan. Keangkuhan membuat orang ingin menghabiskan hak kepunyaan orang lain. Keangkuhan pada para materialis memeranakan dan mencucurkan air mata sesama manusia. Ini realitas yang sungguh-sungguh tidak manusiawi dan ‘biadab’.

Di lain sisi, para pemegang kekuasaan negara Indonesia pun dengan kokoh menstigma manusia Papua dengan pandangan-pandangan negatif (kotor, bodoh, pengacau, pemabuk dan pezinah). Stigmatisasi lebih tinggi yang dialamatkan kepada rakyat Papua yang memperjuangkan keadilan-kebenaran-kebebasan-kedamaian adalah Separatis dan Makar. Sungguh, identitas rakyat Papua terkikis habis-habisan. Apalagi stigmatisasi itu dibarengi dengan sikap arogansi dan dehumanisasi, tanpa peduli. Nyawa anak manusia Papua menjadi santapan tiap hari oleh kaum pencabut nyawa. Keadaan ini amat sangat tidak bersahabat.

Di tengah realitas kebobrokan dan hilangnya nilai kemanusian ini, anak manusia keriting berkisah dibalik duka nestapanya atas hilangnya harga diri dan jati dirinya sebagai manusia: ‘perbuatan-perbuatan salah adalah biasa bagi manusia, tetapi perbuatan pura-pura itulah sebenarnya yang menimbulkan permusuhan dan pengkhiatan serta pemusnahan’.

Sambil duduk merenung, sikap optimis untuk menempuh jalan tengah yang dapat menggugurkan semua kebobrokan manusia bobrok menjadi prioritas. Karena itu, ratapan harus dibunuh, kemanusiaan harus menang, penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia harus diprioritaskan, solusi damai dan bebas harus diperhitungkan, agar tidak ada lagi penghilangan atau pemusnahan nilai kemanusiaan di Papua. Dengan tegar dan kokoh melangkah dengan suara nyaring, aku berseru dalam tulisanku: 

Aku dan Tulisanku
Adakah orang bertanya tentang aku, ketika aku tak pernah menulis satu kata? Adakah orang akan mencari namaku, ketika aku tak pernah meninggalkan kesan-pesan? Tulisanku adalah diriku, diriku mustahil adalah tulisanku. Jari-jariku bekerja dengan otakku, tapi tidak dengan diriku. Diriku adalah kumpulan prilaku potensi dosa, diriku adalah susunan tulang daging darah, yang mungkin telah menyerap barang haram. Diriku bukan milikku, tapi kepunyaan Sang Pencipta, lingkunganku telah mengklaim demikian. Adakah orang pernah menerima aku berbeda dengan tulisanku? Berjayalah kalimat-kalimat yang kutulis, sebab mereka mendapat teman dan musuh yang menghormati.Ingin aku memasukan diriku kedalam tulisanku, harapku bisa mendapat sapaan hormat yang sama. Tulisanku adalah produksi otakku, tak dapat bercengkrama dengan prilakuku, yang diproduksi oleh niatku yang subjektif dan objektif. Tulisanku memberitahu tentang aku ke dunia, sementara aku tak pernah berbuat yang sama kepada tulisanku. Aku dan tulisanku, adalah dari satu sumber, yang sama-sama mendambakan kebebasan.
Honaratus Pigai. Timika, 16 Maret 2014 (di hari pentahbisanku jadi Diakon).”

Demikianlah sekilas buku ‘Para Pembunuh Ratapan’ karya Pastor Honaratus Pigai. (Jelata News Papua / Ibogoo)


Sumber: jelatanp.com

No comments